Jumat, 16 Desember 2016

Kereta yang Membisu

Tak terasa sudah 5 bulan di Jogja. Hidup sebagai anak rantau ababil di Kota Gudeg untuk memenuhi kewajiban tolibul ilmi. Kenapa kubilang ababil? Karena meskipun kuliah dan ndekos di Jogja, aku tetap pulang kampung setiap 2 minggu sekali. Banyaknya pekerjaan di rumah mengharuskanku untuk sering bolak-balik Jogja-Nganjuk. Banyak hal yang harus ku-urus sehingga wajib pulang 2 minggu sekali.

Angkutan favoritku untuk memobilisasi pulang kampung atau sebaliknya adalah kereta. Yap, selain murah dan nyaman, kereta dapat di-andalkan untuk masalah ketepatan waktu. Berangkat dan tiba yang hampir jarang meleset. Aku biasa naik kereta Ekonomi Kahuripan untuk pulang dan kadang kereta Sri Tanjung untuk kembali ke Jogja. Namun dalam 1 bulan ini karena banyaknya urusan di rumah aku terpaksa untuk menunggangi kereta malam. Yang mana kereta malam kebanyakan adalah kereta Bisnis dan Eksekutif yang harganya 2-3 kali lipat kereta Ekonomi. Mau nggak mau aku harus naik itu, karena nggak ada pilihan reasonable yang lain.

Yap, dengan kereta Bisnis aku bisa sedikit lebih lama di rumah. Biasanya sampai Nganjuk sabtu pagi, kemudian dirumah bentar, selanjutnya aku berangkat ke basecamp sampai minggu malam, kadang sampai senin pagi. Senin sore aku harus kembali ke Jogja, karena jam 11 malam ada kelas yang harus kuikuti. Sangat singkat di rumah. Bulan ini kelas udah usai, aku bisa kembali lebih malam, biar bisa sedikit lebih lama ngobrol sama keluarga di rumah. Sehingga kuputusin buat naik kereta Bisnis dengan jadwal yang agak malam.

Itulah intermezo yang enggak penting dari tulisan ke 103 di blog ini, lanjut ke hal yang lebih penting untuk kita renungkan. Memang dari segi kecepatan, kereta Bisnis dan Eksekutif bisa di-andalkan. Namun, dari segi "sosial" sangat enggak banget bagiku. Jika di kereta Ekonomi dengan mudahnya kuhabisin perjalanan dengan obrolan ngalor-ngidul dengan penumpang lain yang sama sekali enggak kenal, di kereta Bisnis dan Eksekutif hal itu mustahil terjadi. Yap, rata-rata penumpang kereta Bisnis dan Eksekutif adalah orang dengan penampilan yang necis. Berbeda dengan penumpang kereta ekonomi yang campur baur mulai dari cewek cantik berhijab yang ramah dan orang tua yang cerewet yang suka ngajakin ngobrol padahal mata pengen tidur. Tapi hal itu yang menyenangkan yang enggak kudapati di kereta Bisnis dan Eksekutif. Mereka cenderung sibuk dengan orang lain yang ada jauh dari di tempat duduknya (gadget).

Hampir sembilan puluh koma sembilan sembilan persen penumpang kereta Bisnis & Eksekutif sibuk dengan gadget yang ada di tangan. Sisanya sibuk dengan membaca, entah itu buku atau majalah yang sudah disediakan di kantong kursi. Aku pernah mencoba mengajak penumpang di sampingku untuk ngobrol, namun obrolan itu enggak cair seperti di kereta ekonomi. Cenderung kaku, singkat dan akhirnya orang yang kuajak ngobrol sibuk lagi dengan gadgetnya. Sibuk dengan BBM, Whatsapp, Facebook dan aplikasi messenger sejenisnya. Sebenernya tidak cuma di kereta, fenomena merunduk ini sudah menggerogoti sebagian besar manusia di muka bumi ini. Mereka sibuk dengan orang jauh dan mengabaikan orang yang ada disampingnya. Kalau memang hal ini sebagai tanda kemajuan zaman, kalo boleh aku usul enggak maju zaman nya enggak apa2. Biar semua kembali ke komunikasi tradisional yang lebih mesra, anti salah paham dan dari hati ke hati. Kalau memang ini nggak bisa dihindari, aku usul agar ada Hari Tanpa Gadget tiap bulannya. hiks

~ Kereta yang Membisu ~

Rabu, 14 Desember 2016

Bis Ramayana, Semarang, Lawang Sewu dan Kota Lama

Kamis (8/12), setelah presentasi Design UI Smart Birth, aku izin pulang untuk bergegas bersiap diri berangkat ke Semarang. Sampai di kos aku langsung packing dan sarapan. Bercelana biru berkaos oblong merah tanpa mandi aku bergegas berangkat ke Terminal Jombor di antar teman kos untuk mencari bis jurusan Semarang. Satu satunya alternatif transportasi publik dari Jogja ke Semarang adalah bis. Sudah kucek di aplikasi kereta api, tak ada kereta Jogja - Semarang.

Sampai di terminal sudah ada bis Ramayana jurusan Semarang yang ngetem menunggu keberangkatan. Segera kubeli tiket seharga 45 ribu dan masuk ke dalam bis. Aku mendapat kursi nomor 6, di sampingku sudah ada cewek dari sekolah pramugari. Terjadi obrolan singkat dan renyah selama perjalanan ke Semarang. Inilah yang kusuka ketika naik transportasi publik, selalu ada perbincangan di dalam perjalanan.

Setelah kurang lebih 3 jam perjalanan, aku sampai di Sukun - Banyumanik. Aku sudah janjian dengan seorang teman di Semarang. Dia bilang agar aku turun di Sukun, kemudian dia yang akan nyamperin di Sukun. Setelah menunggu kurang lebih 30 menit - an, temanku datang. Mungkin gegara jalanan yang begitu macet waktu itu. Baru berjalan beberapa km sudah disambut hujan, akhirnya kita putusin untuk mampir ke mushola sekaligus jama'-qoshor sholat dzuhur yang kutinggalkan ketika perjalanan tadi.

Hujan sudah mulai reda, dan kami melanjutkan perjalanan ke Lawang Sewu. Kurang lebih 15 menit kami sudah berada di loket Lawang Sewu. Aku sedikit penasaran dengan Lawang Sewu ini, karena setiap teman yang berkunjung ke Semarang pasti pamer foto Lawang Sewu. Dasar akunya nggak begitu jago motret, aku cuma punya beberapa foto Lawang Sewu yang mungkin angle nya juga kurang pas.







Foto yang seharusnya vintage, ditanganku terlihat biasa biasa saja yak. Emang dasar aku bukan potograper. Yang penting ada dokumentasi lah. Setelah puas jalan di Lawang Sewu, destinasi selanjutnya adalah Kota Lama yang lokasinya nggak jauh dari Lawang Sewu. Ini potret Kota Lama yang berhasil kujepret. Nggak bagus juga angle nya.



Lebih tepatnya salah angle, nggak mewakili kota tua sama sekali soalnya, cuman motret gereja aja. :D. Jangan tanya fotoku mana, nggak ada sama sekali, lebih tepatnya pada hancur hasil jepretannya. Entah partner yang fotoin aku juga nggak bakat atau emang aku yang nggak potojenik. Sekian yak catatan singkat tentang Bis Ramayana, Lawang Sewu dan Kota Lama.